Antara Pilgub dan Piala Eropa

artikel ini pernah di muat di harian Joglosemar, 7 Juni 1980
Di bulan Juni ini perhatian masyarakat (khususnya di Jawa Tengah) akan tercurah pada dua perhelatan akbar yakni Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah dan Piala Eropa. Keduanya sama-sama ajang kompetisi meski dalam ranah yang berbeda. Di satu sisi Pemilihan Gubernur merupakan kompetisi untuk memilih pemimpin atau kepala daerah. Sedang Piala Eropa adalah ajang untuk menentukan negara mana yang terbaik di Eropa dalam urusan sepak bola. Meski Piala Eropa dilaksanakan jauh dari tempat tinggal kita, namun gaung dan efek psikologisnya bisa kita rasakan bahkan tak jarang sanggup mengubah keseharian kita. Jutaan orang bersedia begadang sampai pagi untuk menyaksikan jago-jago sepakbola dunia berlaga. Para penggila sepakbola terbelah ke dalam beberapa kelompok pendukung atau suporter. Mereka saling mengekspresikan bentuk dukungannya. Begitu juga dengan pemilihan gubernur. Setiap warga juga ingin berpartisipasi dalam pesta demokrasi ini. Apalagi pemilihan gubernur memang dekat dengan kita, menentukan masa depan masyarakat Jawa Tengah, maka atmosfer persaingan amat terasa. Bisa jadi untuk waktu-waktu belakangan ini kita menjadi berbeda dengan tetangga, teman ataupun keluarga karena menjadi “suporter” calon gubernur yang berbeda. Pertanyaannya kemudian, pelajaran apa yang dapat kita petik dari dua perhelatan ini? Dari dua perhelatan ini setidaknya kita bisa belajar banyak tentang arti kompetisi, penghargaan pada nilai kejujuran, semangat untuk berbuat yang terbaik dan fair play. Nilai yang menjadi pilar utama bagi negara yang menganut paham demokrasi seperti negara kita. Namun, ironis akhir-akhir ini banyak diabaikan oleh bangsa Indonesia. Belakangan kita menjadi terbiasa melihat, mendengar, dan membaca dari media massa kekerasan, kerusuhan bahkan ancaman pembunuhan karena gagal dalam berkompetisi. Boleh dikatakan kita telah kehilangan makna berkompetisi. Hakekat BerkompetisiPemilihan Gubernur Jawa Tengah akan mempertandingkan lima pasang calon gubernur, sedang Piala Eropa diikuti oleh 16 negara. Layaknya sebuah kompetisi, kedua perhelatan ini tentu saja penuh dengan persaingan yang tak jarang menyajikan “drama” yang berakhir pada kesedihan maupun kebahagiaan. Jika drama berakhir bahagia maka para “suporter” akan merasa bangga dan senang. Berbeda hasilnya jika drama berakhir dengan kesedihan, “suporter” akan merasa terluka dan bisa berujung pada ekspresi yang negatif. Mulai dari ketegangan antarindividu hingga kerusuhan yang bersifat massal. Tentu saja hal ini tidak boleh terjadi. Setiap kontestan Pilgub maupun peserta Piala Eropa harus mempersiapkan diri dengan baik, dan siap bertanding secara fair play. Para pendukung mestinya juga dikondisikan sedemikian rupa agar siap menerima kemenangan dan siap pula menerima kekelahan. Inilah hakikat berkompetisi.Kompetisi berarti persaingan yang diciptakan untuk saling mengasah keunggulan guna mencapai kemenangan (keunggulan bersaing). Selama berkompetisi, pihak-pihak yang berkompetisi akan melakukan berbagai usaha untuk meraih yang terbaik. Jika merujuk pada pengertian tersebut, kemenangan tidak membutuhkan obyek yang dikalahkan. Mengambil istilah dari sastra Jawa, kemenangan adalah hasil yang dicapai oleh seseorang yang punya watak (kualitas) kesatria. Menangnya seorang kesatria itu adalah menang yang tanpa merendahkan atau dalam istilah Jawa kita kenal dengan ngasorake (Ubaydillah, 2008).Pengertian kompetisi berbeda dengan kongkurensi, secara harfiah kongkurensi punya arti: menaklukkan, mengalahkan, atau menjatuhkan. Hasil yang dicapai oleh kongkurensi ini bukan memenangkan tetapi memukul mundur. Akhirnya di tingkat sikap mental dan tindakan juga berbeda. Ketika kita mempraktikkan kompetisi maka sikap mental yang mestinya ditonjolkan adalah kemauan melakukan persaingan untuk mencapai tujuan sesuai aturan. Dengan demikian tindakan yang terwujud tentu saja bersifat saling menghargai, santun dan jauh dari rasa ingin menjatuhkan. Sebagai permainan, sepakbola juga mengajarkan bagaimana berkompetisi secara sehat. Semua pemain bisa saja saling kejar, menghadang ataupun mengelabui lawan asal dalam waktu yang ditentukan, di dalam lapangan, dan diperbolehkan oleh aturan yang disepakati. Setelah permainan usai, berakhir pula kompetisi dan kembali pada hakikat kemanusiaannya. Setiap pemain berjabat tangan, saling bertegur sapa penuh keakraban, bertukar seragam sebagai bentuk persahabatan.Etika BerpolitikHal ini pula yang seharusnya terjadi pada perhelatan pemilihan gubernur. Setiap kandidat yang maju dalam kompetisi pemilihan gubernur harus pula berkompetisi dengan sehat. Memang tak bisa dipungkiri, kompetisi sepakbola berbeda tekanannya dengan kompetisi politik meski keduanya memiliki semangat yang sama. Mengikutii definisi politik sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama maka kompetisi politik sudah selayaknya jika kental dengan pertarungan visi-misi, nilai, norma dan cita-cita untuk kebaikan bersama. Karena itu dalam meraihnya tentu saja harus berlandaskan pada etika berpolitik. Etika berhubungan erat dengan kaidah bagaimana seseorang dalam suatu masyarakat kenegaraan (yang menganut sistem politik tertentu) berhubungan secara politik dengan orang atau kelompok masyarakat lain. Dalam melaksanakan hubungan politik itu seseorang harus mengetahui dan memahami norma-norma dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi.Namun seringkali yang terwujud di dalam kenyataan amatlah berbeda. Dalam setiap pemilihan gubernur, bukanlah visi-misi, nilai ataupun norma bermasyarakat dan bernegara yang ditonjolkan melainkan pertarungan jumlah pendukung dengan jalan intimidasi, iming-iming uang dan janji-janji palsu. Akhirnya pertarungan otot justru lebih banyak muncul daripada otak. Etika berpolitik kemudian luntur oleh hasrat untuk meraih kekuasaan semata.Kita perlu ingatkan, di dalam pemilihan gubernur ini lebih-lebih di masa kampanye bolehlah setiap partai politik dan calon-calon kepala daerah melakukan pertarungan politik dalam kerangka peralihan kepemimpinan yang demokratis. Dengan catatan tidak mengganggu ibu-ibu yang sedang ke pasar, tidak membuat toko-toko tutup, tidak membuat bus atau angkutan kota tidak berani berjalan, anak sekolah ketakutan berangkat ke sekolah, pelaksanaan kampanye yang tidak merusak taman kota yang indah. Masyarakat menyalurkan aspirasi tanpa harus dengan membakar ban, merusak toko, tanpa harus menghujat. Dengan demikian kampanye damai dapat kita wujudkan bersama. Semoga.
Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan peneliti di Center for Urban Research and Community Management (Circum) Solo

antara PIlgub dan Piala Eropa

Antara PILGUB dan Piala Eropa
Oleh Adi Himawan
Artikel ini pernah dimuat di Harian Joglosemar, 7 Juni 1980

Di bulan Juni ini perhatian masyarakat (khususnya di Jawa Tengah) akan tercurah pada dua perhelatan akbar yakni Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah dan Piala Eropa. Keduanya sama-sama ajang kompetisi meski dalam ranah yang berbeda. Di satu sisi Pemilihan Gubernur merupakan kompetisi untuk memilih pemimpin atau kepala daerah. Sedang Piala Eropa adalah ajang untuk menentukan negara mana yang terbaik di Eropa dalam urusan sepak bola. Meski Piala Eropa dilaksanakan jauh dari tempat tinggal kita, namun gaung dan efek psikologisnya bisa kita rasakan bahkan tak jarang sanggup mengubah keseharian kita. Jutaan orang bersedia begadang sampai pagi untuk menyaksikan jago-jago sepakbola dunia berlaga. Para penggila sepakbola terbelah ke dalam beberapa kelompok pendukung atau suporter. Mereka saling mengekspresikan bentuk dukungannya. Begitu juga dengan pemilihan gubernur. Setiap warga juga ingin berpartisipasi dalam pesta demokrasi ini. Apalagi pemilihan gubernur memang dekat dengan kita, menentukan masa depan masyarakat Jawa Tengah, maka atmosfer persaingan amat terasa. Bisa jadi untuk waktu-waktu belakangan ini kita menjadi berbeda dengan tetangga, teman ataupun keluarga karena menjadi “suporter” calon gubernur yang berbeda. Pertanyaannya kemudian, pelajaran apa yang dapat kita petik dari dua perhelatan ini? Dari dua perhelatan ini setidaknya kita bisa belajar banyak tentang arti kompetisi, penghargaan pada nilai kejujuran, semangat untuk berbuat yang terbaik dan fair play. Nilai yang menjadi pilar utama bagi negara yang menganut paham demokrasi seperti negara kita. Namun, ironis akhir-akhir ini banyak diabaikan oleh bangsa Indonesia. Belakangan kita menjadi terbiasa melihat, mendengar, dan membaca dari media massa kekerasan, kerusuhan bahkan ancaman pembunuhan karena gagal dalam berkompetisi. Boleh dikatakan kita telah kehilangan makna berkompetisi. Hakekat BerkompetisiPemilihan Gubernur Jawa Tengah akan mempertandingkan lima pasang calon gubernur, sedang Piala Eropa diikuti oleh 16 negara. Layaknya sebuah kompetisi, kedua perhelatan ini tentu saja penuh dengan persaingan yang tak jarang menyajikan “drama” yang berakhir pada kesedihan maupun kebahagiaan. Jika drama berakhir bahagia maka para “suporter” akan merasa bangga dan senang. Berbeda hasilnya jika drama berakhir dengan kesedihan, “suporter” akan merasa terluka dan bisa berujung pada ekspresi yang negatif. Mulai dari ketegangan antarindividu hingga kerusuhan yang bersifat massal. Tentu saja hal ini tidak boleh terjadi. Setiap kontestan Pilgub maupun peserta Piala Eropa harus mempersiapkan diri dengan baik, dan siap bertanding secara fair play. Para pendukung mestinya juga dikondisikan sedemikian rupa agar siap menerima kemenangan dan siap pula menerima kekelahan. Inilah hakikat berkompetisi.Kompetisi berarti persaingan yang diciptakan untuk saling mengasah keunggulan guna mencapai kemenangan (keunggulan bersaing). Selama berkompetisi, pihak-pihak yang berkompetisi akan melakukan berbagai usaha untuk meraih yang terbaik. Jika merujuk pada pengertian tersebut, kemenangan tidak membutuhkan obyek yang dikalahkan. Mengambil istilah dari sastra Jawa, kemenangan adalah hasil yang dicapai oleh seseorang yang punya watak (kualitas) kesatria. Menangnya seorang kesatria itu adalah menang yang tanpa merendahkan atau dalam istilah Jawa kita kenal dengan ngasorake (Ubaydillah, 2008).Pengertian kompetisi berbeda dengan kongkurensi, secara harfiah kongkurensi punya arti: menaklukkan, mengalahkan, atau menjatuhkan. Hasil yang dicapai oleh kongkurensi ini bukan memenangkan tetapi memukul mundur. Akhirnya di tingkat sikap mental dan tindakan juga berbeda. Ketika kita mempraktikkan kompetisi maka sikap mental yang mestinya ditonjolkan adalah kemauan melakukan persaingan untuk mencapai tujuan sesuai aturan. Dengan demikian tindakan yang terwujud tentu saja bersifat saling menghargai, santun dan jauh dari rasa ingin menjatuhkan. Sebagai permainan, sepakbola juga mengajarkan bagaimana berkompetisi secara sehat. Semua pemain bisa saja saling kejar, menghadang ataupun mengelabui lawan asal dalam waktu yang ditentukan, di dalam lapangan, dan diperbolehkan oleh aturan yang disepakati. Setelah permainan usai, berakhir pula kompetisi dan kembali pada hakikat kemanusiaannya. Setiap pemain berjabat tangan, saling bertegur sapa penuh keakraban, bertukar seragam sebagai bentuk persahabatan.Etika BerpolitikHal ini pula yang seharusnya terjadi pada perhelatan pemilihan gubernur. Setiap kandidat yang maju dalam kompetisi pemilihan gubernur harus pula berkompetisi dengan sehat. Memang tak bisa dipungkiri, kompetisi sepakbola berbeda tekanannya dengan kompetisi politik meski keduanya memiliki semangat yang sama. Mengikutii definisi politik sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama maka kompetisi politik sudah selayaknya jika kental dengan pertarungan visi-misi, nilai, norma dan cita-cita untuk kebaikan bersama. Karena itu dalam meraihnya tentu saja harus berlandaskan pada etika berpolitik. Etika berhubungan erat dengan kaidah bagaimana seseorang dalam suatu masyarakat kenegaraan (yang menganut sistem politik tertentu) berhubungan secara politik dengan orang atau kelompok masyarakat lain. Dalam melaksanakan hubungan politik itu seseorang harus mengetahui dan memahami norma-norma dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi.Namun seringkali yang terwujud di dalam kenyataan amatlah berbeda. Dalam setiap pemilihan gubernur, bukanlah visi-misi, nilai ataupun norma bermasyarakat dan bernegara yang ditonjolkan melainkan pertarungan jumlah pendukung dengan jalan intimidasi, iming-iming uang dan janji-janji palsu. Akhirnya pertarungan otot justru lebih banyak muncul daripada otak. Etika berpolitik kemudian luntur oleh hasrat untuk meraih kekuasaan semata.Kita perlu ingatkan, di dalam pemilihan gubernur ini lebih-lebih di masa kampanye bolehlah setiap partai politik dan calon-calon kepala daerah melakukan pertarungan politik dalam kerangka peralihan kepemimpinan yang demokratis. Dengan catatan tidak mengganggu ibu-ibu yang sedang ke pasar, tidak membuat toko-toko tutup, tidak membuat bus atau angkutan kota tidak berani berjalan, anak sekolah ketakutan berangkat ke sekolah, pelaksanaan kampanye yang tidak merusak taman kota yang indah. Masyarakat menyalurkan aspirasi tanpa harus dengan membakar ban, merusak toko, tanpa harus menghujat. Dengan demikian kampanye damai dapat kita wujudkan bersama. Semoga.

aspek sosiologis konversi minyak tanah

Aspek Sosiologis Konversi Minyak Tanah
May 10, '08 8:18 AMfor everyone
artikel berikut di muat di OPINI Harian Sindo Sore, Selasa, 04/09/2007
Kebijakan pemerintah untuk melakukan konversi minyak tanah ke elpiji pada kenyataannya tidak berjalan seperti yang diharapkan.Gejolak pun terjadi, tidak hanya pada masyarakat di wilayah konversi yakni DKI Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, Cimahi, Semarang, dan Surabaya,masyarakat di luar wilayah konversi pun mengalami keresahan serupa.
Hampir seluruh pangkalan maupun agen minyak tanah diserbu konsumen menimbulkan antrean yang cukup panjang.Dampak yang paling pahit adalah melonjaknya harga.Situasi ini ditengarai terjadi karena kebijakan pemerintah untuk melakukan konversi. Pertanyaannya,mengapa hal ini mesti terjadi?
Ada beragam kendala yang menjadi penyebab.Selain dari sisi kebijakan yang memang harus diakui tidak dilakukan dengan perencanaan yang matang, kita pun harus memahami, tampaknya masyarakat memang belum siap. Langkah yang tepat ketika pemerintah memutuskan untuk memperpanjang masa transisi dari minyak tanah ke elpiji sampai masyarakat lebih siap.
Dalam peralihan itu,pemerintah tetap akan memasok minyak tanah ke wilayah yang masyarakatnya sudah menerima paket kompor gas dan tabung elpiji.Dengan masa transisi yang lebih lama, masyarakat diharapkan lebih terbiasa sehingga gejolak bisa dihindari. Untuk tepat program konversi di mana pemerintah menargetkan bisa menjangkau enam juta kepala keluarga di Jawa dan Bali selayaknya ditunda.
Lebih dari itu,minyak tanah merupakan sumber daya penting bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Pengguna minyak tanah didominasi rumah tangga golongan menengah ke bawah, para penjaja makanan dan usaha rumah tangga yang masuk dalam kategori usaha kecil. Mereka telah bertahun-tahun menjadi pengguna minyak tanah dan telah menemukan kemapanan, bahkan telah merasakan bahwa minyak tanah menjadi bagi hidupnya.
Dalam posisi demikian, amatlah sulit untuk melakukan perubahan,dibutuhkan waktu dan sosialisasi yang kontinu. Kita menyadari bersama bahwa konversi dalam pengertian individual maupun kolektif bukanlah masalah teknis belaka,juga menyangkut perubahan sistem sosial masyarakat yang kompleks,terutama menyangkut kesiapan untuk melakukan perubahan.
Hal itu berkaitan erat dengan pilihanpilihan tindakan sosial yang banyak dipengaruhi persepsi individual maupun budaya yang bersifat kolektif. Perubahan sosial akan dihadapi masyarakat yang terkena konversi maupun agen-agen, pangkalan yang selama ini menjadi jalur distribusi minyak tanah.Mereka mempunyai kepentingan dan rasionalitas tindakannya sendiri-sendiri.
Inilah aspek sosiologis yang harus diperhatikan.Para pengguna minyak tanah telah memilih tindakan sesuai rasionalitasnya.Rasionalitas yang meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Individu harus dipahami memiliki macam-macam tujuan. Atas dasar itulah,kemudian individu menentukan satu pilihan di antara tujuan-tujuan yang saling bersaing ini.
Lalu,individu itu menilai alat yang mungkin dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan yang dipilih tadi. Dalam hal ini,seseorang berusaha mengumpulkan informasi,mencatat kemungkinan-kemungkinan,serta hambatan-hambatan yang terdapat dalam lingkungan dan mencoba untuk meramalkan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dari beberapa alternatif tindakan itu.
Akhirnya,suatu pilihan dibuat yang mencerminkan pertimbangan individu atas efisiensi dan efektivitas. Selain berkaitan dengan aspek individual,situasi sosial-budaya masyarakat juga ikut berpengaruh. Pascareformasi dan terbukanya kehidupan yang demokratis membawa nilai baru dalam masyarakat bahwa tidak semua kebijakan pemerintah secara otomatis mendapatkan tempat di hati masyarakat.
Hal itu berbeda dengan masa Orde Baru yang tertutup dan otoriter.Situasi tersebut menyebabkan masyarakat menjalankan kebijakan dengan keterpaksaan. Alhasil, masyarakat tidak terlalu memikirkan apakah kebijakan tersebut sesuai atau tidak dengan dirinya, mereka hanya mempertimbangkan untuk ikut serta atas dasar nilai semu ’’menyukseskan program pemerintah”.
Tindakan itu dapat dipandang bersifat nonrasional dalam hal seseorang tidak dapat memperhitungkannya secara objektif mengenai tujuan-tujuan yang mana yang harus dipilih.Pertimbanganpertimbangan rasional mengenai kegunaan (utility),efisien,dan lain-lain tidak banyak berpengaruh.
Konversi Berbasis Masyarakat Untuk itu,yang terpenting dari sebuah upaya konversi adalah menempatkan masyarakat sebagai pemegang kunci,penentu,atau pengambil putusan. Harapan kita bersama, masyarakat dapat menentukan pola konversi sendiri. Dengan demikian,jika konversi itu harus dilakukan, dilaksanakan atas dasar kesukarelaan. Pola konversi menyangkut waktu, bentuk, dan mekanisme konversi sesuai harapan masyarakat.
Hal itu akan memengaruhi pola atau konsep konversi yang tepat untuk diterapkan. Proses sosialisasi menjadi kunci keberhasilan konversi. Proses sosial itu berkaitan dengan penyediaan ruang informasi yang seimbang. Tidak hanya berkaitan dengan keunggulan, juga kelemahan konversi. Tentu saja,hal ini penting untuk dicermati karena situasi yang tidak menentu terkadang menjadi awal munculnya perbedaan pendapat yang tak jarang berakhir dengan konflik sosial.
Pelajaran penting yang dapat dipetik dari kebijakan konversi ini bahwa setiap kebijakan memang harus dibicarakan dengan masyarakat.Ada ruang partisipasi publik sehingga identitas yang dikehendaki warga ke-mudian tidak tercerabut oleh kebijakan satu arah dari pemegang kuasa.Dengan demikian, masyarakat memiliki identitas dan kontrol terhadap perkembangan kehidupannya untuk mempertahankan keunikan dan karakter khasnya.Jika demikian adanya,perubahan sosial akan berjalan dengan damai dan bermanfaat bagi masyarakat.( ADI HIMAWAN, Peneliti di Laboratorium of Urban Crisis and Community Development (Lab UCYD), Jurusan Sosiologi, FISIP, UNS )

mungkinkah pasar tradisional bertahan?

mungkinkah pasar tradisional bertahan?

artikel berikut pernah dimuat di opini, harian Sindo edisi 12-12-2006
Mungkinkah Pasar Tradisional Bertahan?

Oleh: Adi Himawan
Menarik mengikuti tulisan Tawaf T Irawan dalam artikelnya Regulasi Pasar Modern (Sindo, 11 Desember 2006). Dalam tulisannya Tawaf mengungkapkan pentingnya keberpihakan pemerintah terhadap pasar tradisional, agar pasar rakyat ini tidak tergilas oleh penetrasi pasar-pasar modern. Salah satu jalannya dengan segera mengeluarkan regulasi pasar modern.
Tulisan tersebut juga membuka mata hati kita betapa keadaan pasar tradisional amat memprihatinkan. Di tengah persaingan yang tidak seimbang dengan pasar modern, pemerintah justru tidak turun tangan untuk memberikan solusi dan regulasi. Akibatnya pasar tradisional cepat atau lambat akan punah. Tak bisa dipungkiri, pasar tradisional adalah salah satu local genius yang sampai sekarang masih bertahan dan mencoba untuk mengembangkan diri agar mampu bersaing di tengah arus modernitas. Di tengah gerak jaman yang menghadirkan pasar-pasar modern (mall, supermarket, hypermarket) sebagai lembaga ekonomi baru, keberadaan pasar-pasar tradisional pun mulai terdesak.
Pertanyaannya kemudian mungkinkah pasar tradisional dapat bertahan? Pasar tradisional akan tetap mempunyai pesona tersendiri di tengah kehidupan masyarakat modern asal dikelola dengan baik dengan mempertahankan keunikan dan karakter khasnya. Bahkan, pasar tradisional sebetulnya berpotensi sebagai ikon sebuah daerah. Patut disayangkan jika pasar tradisional tergusur oleh deru pembangunan pasar modern. Mengingat, potensi sosial, ekonomi maupun budaya yang telah berkembang lama di pasar tradisional. Bagi pedagang pasar tradisional keadaan memang semakin sulit.
Selain melawan modal (pasar modern) yang lebih kuat, juga harus bertarung dengan sistem nilai budaya dan perubahan perilaku sosial konsumen. Masyarakat bergerak mengarah pada budaya instan, mementingkan individualisme. Dalam memenuhi kebutuhannya, konsumen mencari tempattempat yang menawarkan keindahan, kenyamanan dan pelayanan yang prima. Sebuah sistem perilaku yang diakomodasi dalam aktivitas pasar modern. Maka, penting keberpihakan dan kejelasan arah pemerintah terhadap ketersediaan lembaga ekonomi.
Sebab, kalau tidak ada keberpihakan pasar tradisional akan lebih cepat tergilas. Keberpihakan bisa dimulai dengan memaknai pasar tradisional sebagai potensi yang patut dikembangkan. Pasar tradisional bukan hanya sekedar ruang, akan tetapi sebagai lembaga sosial yang terbentuk karena proses interaksi sosial dan kebutuhan masyarakatnya. Selanjutnya, untuk mewujudkan pasar tradisional sebagai lembaga ekonomi, maka penting untuk membenahi berbagai hal, di antaranya adalah sisi fisik pasar, manajemen dan aspek layanan pasar sesuai tuntutan zaman.
Tak bisa dipungkiri lorong yang makin menyempit karena banyaknya pedagang yang meletakkan dagangan melampui batas membuat pembeli harus berdesakan dalam berbelanja. Belum lagi tempatnya yang kotor, bau pengap, singkatnya suasana berbelanja yang tidak nyaman menjadi alasan yang banyak dipakai untuk meninggalkan pasar tradisional. Perbaikan kondisi fisik ini merupakan pekerjaan rumah yang tak ringan bagi pemerintah untuk merehab dan membenahi. Dalam hal pengelolaan, pemerintah (daerah) memang terlihat kepayahan, terlihat dari manajemen yang tidak berjalan baik sehingga tumbuh kesemrawutan dan tak terawatnya pasar.
Ke depan, untuk memperbaiki manajemen perlu keterlibatan komunitas pasar lewat paguyuban pedagang pasar yang telah banyak terbentuk untuk menjadi mitra dalam mengelola pasar. Inilah sinergisitas yang akan membuahkan sebuah kerja kolektif untuk pengelolaan pasar tradisional. Adalah sebuah keniscayaan, menempatkan pasar tradisional sebagai soko guru pengembangan ekonomi dan menempatkan pasar modern sebagai ”pemanis” wajah tata ruang kota. Semua ini menjadi mungkin jika ada konsistensi pemerintah melihat pasar tradisional sebagai potensi untuk mengembangkan daerahnya.
Ada dua kota yang bisa menjadi percontohan dalam hal pengelolaan dan keberpihakan terhadap pasar tradisional, yakni Kota Yogyakarta dan Kota Solo. Seperti telah kita ketahui bersama lima pasar tradisional dari 31 pasar tradisional di Kota Yogyakarta rencananya akan diperbaiki hingga akhir tahun 2006 melalui progam revitalisasi. Dana sekitar Rp1,7 miliar dikucurkan lewat APBD Kota Yogyakarta (Sindo, 6 April 2006). Namun, karena musibah gempa proses revitalisasi kemudian tersebut. Langkah yang sama juga dilakukan pemerintah kota Solo yang juga melakukan langkah serupa.
Wali Kota Solo mengambil kebijakan untuk melaksanakan proyek rehabilitasi pasarpasar tradisional dengan mengucurkan dana Rp7,7 miliar. Dana APBD tersebut sedianya untuk merehabilitasi 12 pasar dari 38 pasar tradisional yang saat ini masih eksis. Kabar ini tentu menggembirakan, inilah langkah maju pemerintah daerah untuk melindungi dan menampakan keberpihakan terhadap potensi ekonomi lokal.
Pasar Tradisional Sebagai Aset
Jika menengok ke belakang, sebagai lembaga ekonomi, pasar tradisional telah berkembang cukup lama. Sebagai contoh Pasar Gede yang bangunannya didesain oleh Thomas Karsten di masa kekuasaan Raja Keraton Surakarta Pakubuwono X, sebagai pasar induk untuk kebutuhan sehari-hari dengan buah-buahan sebagai produk unggulan. Keberadaan pasar ini menjadikan Solo sampai hari ini sebagai sentra perdagangan buah di Jawa Tengah dan sekitarnya.
Atau pasar Klewer sebagai pasar tekstil penopang pertumbuhan ekonomi Kota Solo yang keberadaannya tak bisa lepas dari jalinan industri batik yang banyak berkembang di Laweyan maupun Kauman yang juga telah berlangsung lama. Begitu juga dengan pasar Johar di kota Semarang maupun pasar Beringharjo di Yogyakarta juga telah lama menjadi pusat geliat ekonomi kerakyatan. Secara sosiologis, pasar tradisional memiliki arti penting bagi masyarakat.
Pasar tradisional berfungsi sebagai pusat kegiatan sosial ekonomi kerakyatan. Karakter khas dari pasar tradisional adalah sistem perdagangan dengan memakai pola harga luncur, tawar-menawar untuk mencapai kesepakatan harga. Dengan pola hubungan ekonomi ini maka interaksi sosial terjalin akrab antara penjual dan pembeli. Sosialitas pun terbangun dalam masyarakat lewat kegiatan ekonomi. Fungsi pasar tradisional juga terus berkembang sebagai pusat pertemuan, pusat pertukaran informasi, aktivitas kesenian rakyat dan belakangan menjadi unggulan paket wisata. Dalam pemikiran demikian maka pasar tradisional merupakan aset daerah sekaligus perekat hubungan sosial dalam masyarakat. Sehingga runtuhnya pasar tradisional sebetulnya meruntuhkan bangunan social, ekonomi kerakyatan itu sendiri dan bisa jadi merembet pada pudarnya sosialitas masyarakat

membaca potensi joglosemar

Membaca Potensi Joglosemar

artikel ini pernah dimuat di harian joglosemar edisi perdana 29 oktober 2007

Dalam sebuah perjalanan ke Jakarta, penulis sempat berbagi cerita dengan seorang ibu berusia sekitar 60 tahun. Saat itu masih dalam suasana arus balik setelah lebaran. Ibu yang bertempat tinggal di salah satu kabupaten di Karesidenan Surakarta itu dengan penuh semangat menceritakan pengalamannya membesarkan anaknya hingga sukses. Ia menceritakan sejak anaknya merantau ke Jakarta 10 tahun silam kehidupannya berubah dengan cepat. Secara materi tidak lagi kekurangan bahkan berlebih, secara sosial makin dihargai karena anaknya bekerja di salah satu perusahaan ternama di Ibu Kota Negara. Apabila lebaran tiba anaknya selalu mudik dengan mobil pribadi. Lengkap sudah kebahagian sang ibu. Ibu itu pun tak lupa menyarankan kepada penulis untuk berani hidup di Jakarta.Sekelumit kisah di atas, memberi pelajaran hidup tersendiri. Betapa kota besar seperti Jakarta terus menyediakan mimpi indah. Perjuangan para perantau yang jatuh bangun mampu mengangkat ekonomi keluarga mereka. Kini setiap menjelang Lebaran, miliaran rupiah dikirimkan ke daerah asal. Perpindahan penduduk membawa berkah bagi daerah asal. Sebagai contoh Wonogiri, tercatat sekitar 110.404 orang atau hampir 10% penduduk Wonogiri menjadi perantau (Lab. Ucyd, 2007). Bila setiap perantau membawa uang Rp 500.000 ketika mudik Lebaran, uang yang masuk ke daerah ini mencapai Rp 55,2 miliar lebih. Jumlah ini tentu bukanlah sedikit. Maka tak heran, beberapa waktu belakangan ini kembali hangat diperbincangkan persoalan perpindahan penduduk dari beberapa daerah di Indonesia menuju kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek). Tradisi tahunan mudik dan arus balik lebaran menjadi waktu yang tepat untuk melakukan migrasi. Di DKI Jakarta saja, sedikitnya 180.000 jiwa pendatang baru di setiap tahunnya dan sebagian besar diantaranya tiba bersamaan dengan arus balik setelah lebaran. Mereka seolah bergeming dengan berbagai penertiban, operasi yustisi maupun ancaman pemulangan ke daerah asal jika tidak bisa hidup di kota besar.Kesempatan gerak penduduk yang masif makin terbuka lebar karena didukung oleh sarana komunikasi dan transportasi yang memadai. Coba kita tengok angka mudik lebaran tahun 2007 ini. Di wilayah Jawa Tengah saja dibanjiri 4,2 juta pemudik naik 11% dibanding tahun 2006 sebesar 3,7 juta orang. Angka ini terdistribusi ke beragam alat transportasi mulai dari pesawat, kereta api, bus, mobil pribadi hingga sepeda motor. Tidak bisa dipungkiri, jika dibandingkan variabel-variabel demografi yang lain (kelahiran dan kematian), persoalan migrasi menjadi faktor penting yang ikut menggerakkan perubahan-perubahan sosial di pedesaan maupun perkotaan. Perpindahan yang dilakukan oleh perantau ini berkaitan erat dengan faktor-faktor seperti ekonomi, ketimpangan kebijakan pembangunan serta aspek sosiologis. Kita bersama memahami, migrasi menjadi suatu masalah ekonomi karena sebagian besar perpindahan terjadi disebabkan ketidakseimbangan ekonomi antara daerah asal dengan daerah tujuan (Rahmad, 2006). Keinginan meraih penghidupan yang layak menjadi pendorong utama.Persoalan migrasi juga terkait erat dengan ketimpangan kebijakan pembangunan. Sudah sekian lama pembangunan desa terabaikan. Keinginan pemerintah pusat untuk mengejar pertumbuhan ekonomi membuat upaya pembangunan terkonsentrasi di kota-kota besar. Akibatnya banyak sekali desa yang tidak tersentuh pembangunan.Dalam perspektif sosiologis, migrasi tidak dapat dilepaskan dari persoalan mobilitas sosial dalam kehidupan manusia. Migrasi amat berkaitan dengan konsep mobilitas sosial vertical yakni perubahan status sosial. Migrasi merupakan upaya untuk memperbaiki status sosial di mata masyarakat. Dengan demikian kita mamahami bahwa arus perpindahan penduduk terjadi karena faktor pendorong yang datangnya dari daerah asal dan faktor penarik yang datangnya dari daerah tujuan. Pertanyaannya bagaimana agar arus perpindahan penduduk ini tidak berdampak negatif baik bagi daerah asal maupun tujuan?
Kerja sama antardaerahKita tentu tidak berharap pekerja-pekerja potensial meninggalkan daerah asal dan bekerja di daerah lain. Perpindahan ini tentu akan merugikan daerah asal itu sendiri. Melihat kondisi ini kerja sama antar daerah menjadi mutlak diperlukan untuk menahan agar pekerja potensial tidak melakukan migrasi. Caranya dengan meningkatkan daya tarik dan menciptakan peluang-peluang usaha. Terutama di daerah penyumbang perantau seperti Jawa Tengah dan DIY. Di Jawa tengah dan DIY daerah yang menjadi asal perantau seperti Wonogiri, Klaten dan Gunung Kidul. Masyarakat di daerah tersebut merantau tak ubahnya menjemput masa depan yang lebih baik. Sebuah langkah yang menjanjikan ketika tiga daerah yakni Jogja, Solo dan Semarang bergandengan tangan untuk menjalin kerjasama. Sinergisitas yang kemudian kita kenal dengan Joglosemar. Kita tentu sepakat tiga daerah ini menyimpan potensi besar. Dari sisi ekonomi tiga daerah ini termasuk lokomotif pertumbuhan ekonomi bagi daerah-daerah di sekitarnya. Secara geografis ketiga daerah ini sangat berdekatan sehingga memudahkan dalam mobilitas. Letak ketiga daerah ini amat strategis dan mudah dijangkau dari berbagai penjuru, maka tak heran jika banyak yang menyebut sebagai ”segitiga emas”.Jalinan kerja sama ekonomi telah lama terbangun. Hal ini dapat dilihat ketika di pagi buta pasar-pasar induk seperti Pasar Legi di kota Solo maupun Pasar Johar di Semarang dipenuhi pedagang sayuran dari Tawangmangu (Karanganyar), Boyolali, Grabag (Magelang) maupun pedagang bunga dari Bandungan (Kab. Semarang). Begitu juga pasar Beringharjo dan Klewer yang disesaki oleh pedagang batik dari Yogyakarta, Solo, Pekalongan maupun Klaten. Dalam perspektif sosiologis tiga daerah ini memiliki karakteristik yang menarik. Masyarakat Jogja dan Solo mewarisi kehidupan, sistem sosial dan budaya Mataram pedalaman. Dibangun oleh tradisi masyarakat pedesaan dan pegunungan. Kita melihat ketiga daerah ini dikelilingi oleh gunung Merapi, Merbabu dan Lawu yang membentuk dataran rendah yang luas meliputi daerah Klaten, Boyolali dan Kartasura. Dari lereng Gunung Merapi mengalir kali Opak ke selatan menjadi batas Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta. Masyarakat pedesaan dekat dengan cara hidup guyub rukun, , face to face, dan mengedepankan harmoni sosial. Sedang Semarang mewarisi tradisi masyarakat pesisiran yang lekat dengan budaya kosmopolitan, egaliter. Fakta sosiologis ini tentu mengikat masyarakat dalam sebuah solidaritas sosial yang kuat. Kearifan sosial dalam bentuk kehidupan yang , ajur ajer, hidup di tengah-tengah masyarakat. Sejarah juga membuktikan bahwa ikatan sosial Jogja dan Solo sebetulnya telah terjalin lama. Pernikahan antara Raja Keraton Surakarta Pakubuwono X dengan puteri Sultan Hamengkubuwono VII dari Keraton Yogyakarta adalah salah satu bukti ikatan sosial budaya itu.
Adi Himawan, Peneliti di Laboratorium of Urban Crisis and Community Development (Lab. UCYD), Jurusan Sosiologi, FISIP, UNS, Solo

ada apa dengan survey

ada apa dengan survey

Ada apa dengan survey? Bisakah hasil survey menjadi jaminan kemenangan? Dapatkah survey “disalahkan” ketika ada perbedaan antara hasil survey dengan hasil pemilu? Jika demikian, dimana letak manfaat survey? Tentu kita harus lebih bijak menyikapinya terutama dalam iklim demokrasi dan upaya pengembangan lembaga politik yang kuat dan mapan.
Pasca reformasi di Indonesia, demokrasi terbuka lebar dan masyarakat dapat mengartikulasikan kepentingannya dengan terbuka. Kini adalah rakyat yang memilih pemimpinnya secara langsung maka rakyat adalah subyek utama.. Dalam alam yang demikian ini menjadi penting untuk memahami aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat. Pertanyaan yang muncul bagaimana kita bisa memahami aspirasi public (masyarakat luas) sedini, seakurat mungkin dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah?
Ilmu pengetahuan telah tumbuh dengan canggih dan telah tersedia instrumen survey opini public untuk membaca aspirasi, harapan, kekecewaan dan dukungan public. Survey adalah peralatan ilmiah yang dipergunakan untuk mengetahui pendapat masyarakat atas isu-isu yang berhubungan dengan masalah public yang dilakukan dengan suatu penelitian. Salah satu isu publik yang menarik untuk diketahui adalah siapa pemimpin atau kepala daerah yang dikehendaki oleh rakyat? Di sinilih arti penting survey politik.
Didukung pula oleh hadirnya sistem pemilihan langsung untuk memilih presiden, kepala daerah maupun anggota legislative. Jika kita hitung untuk memilih gubernur saja, jika satu provinsi memiliki 4 pasangan calon sedang di Indonesia terdapat 33 provinsi maka akan ada 132 calon pasangan. Jumlah kabupaten/kota di Indonesia mencapai 450 daerah, jika ada 4 pasangan bupati/wakil bupati maupun walikota dan wakilnya di tiap kabupaten/kota maka akan ada 1800 pasangan calon. Belum lagi calon anggota legilatif yang juga dipilih langsung. Jumlah yang luar biasa bagi industri survey politik. Maka tidak heran, lembaga survey opini public bermunculan dan menjadi pemain baru yang bamyak diperhitungkan.
Para calon yang hendak mengikuti perhelatan pemilu berkepentingan dengan opini public. Mereka tentu ingin melihat seberapa dikenal di mata rakyat? Apakah progam yang ditawarkan sesuai? Apa saja yang harus dilakukan jika ingin menaikkan popularitas? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini bisa dijawab melalui survey.
Kegiatan survey bisa menjadi terobosan untuk menggantikan cara-cara lama dalam memahami masalah public. Jika dahulu seorang pemimpin ataupun calon pemimpin harus berkeliling dari kampong ke kampong menyelenggarakan pertemuan. Hadirnya metode survey ini bisa menggantikan cara-cara tersebut dengan biaya yang lebih rendah dan lebih efektif. Meski demikian survey tentu tidak menggantikan secara utuh sebab rakyat tentu tetap ingin dekat dengan pempimpinya dalam bentuk pertemuan langsung.
Kode etik
Kita bersyukur bahwa banyak orang mulai membaca karya ilmiah paling tidak dibuktikan dengan maraknya survey akhir-akhir ini. Bangsa yang masih terbelakang seperti kita memang sangat membutuhkan panduan ilmu pengetahuan untuk bisa tegak di tengah bangsa-bangsa. Akan tetapi ilmu, bagaimanapun bentuknya, selalu berada di tengah konteks. Manfaat ilmu akan maksimal kalau kita juga memahami konteks itu (Radhar Tribaskoro, 2008)
Jika demikian, bagaimana kita meletakkan survey di tengah-tengah proses pemilu termasuk di dalamnya pilkada? Sebagai alat tentu survey amat dibutuhkan. Ibarat suhu tubuh, untuk mengukurnya kita butuh thermometer. Begitu juga dengan pemilu, suhu panas atau dinginnya pemilu bisa kita ukur dengan alat yaitu survey. Dengan survey kita bisa melihat bagaimana tingkat popularitas, daerah mana yang menjadi potensi suara, hal-hal apa saja yang dibutuhkan rakyat sebagai pemilih hingga kebijakan ke depan yang layak untuk dijadikan prioritas. Banyak hal yang dapat diungkap melalui survey.
Sekali lagi kita mesti ingat survey terutama survey politik adalah alat pengukur bukan alat pemenangan. Hal ini cukup beralasan, mengingat perhelatan pemilu secara umum merupakan ranah politik yang seringkali amat sulit diramalkan secara akurat sebelunya. Saat pemilih dalam bilik suara adalah saat yang menentukan. Di dalam bilik suara itulah suara tuhan berbicara seperti ungkapan lama suara rakyat adalah suara tuhan. Apa yang mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihan? Ada beragam variabel yang mempengaruhinya antara lain track record tokoh/kandidat yang diusung, popularitas, mesin politik serta pemilih sebagai subyek (Anhar Widodo, Joglosemar 24 April 2008).
Memang dalam banyak hal survey bisa saja di salah pergunakan. Survey tidak dilakukan sesuai kaidah, mengesampingkan nilai obyektifas dan tidak memihak. Untuk itu, kegiatan survey opini public tidak hanya berkaitan masalah teknis ilmiah. Pengukuran opini public sangat lekat dengan seperangkat norma, aturan atau etika..
Mengapa? Sebab kegiatan survey mengikut sertakan manusia. Peneliti tidak hanya dituntut menjalankan penelitian dengan metode yang benar, tetapi juga punya tanggung jawab terhadap obyek yang diteliti. Kode etik ini paling tidak menyangkut empat pihak yaini public (masyarakat luas), responden dan profesi serta klien. Ada sejumlah etika yang mengatur hubungan antara peneliti atau penyelenggara survey dengan keempat pihak tersebut diantaranya kejujuran, obyektif dan profesionalitas. Etika ini diharapkan dapat menuntun lembaga-lembaga survey untuk menyelenggarakan survey yang dapat dipertanggungjawabkan. Semoga

aspek sosiologis relokasi penduduk

aspek sosiologis relokasi penduduk
pernah dimuat di harian Republika, Sabtu, 07 Oktober 2006
Adi Himawan
Peneliti di Laboratorium of Urban Crisis and Community Development, Jurusan Sosiologi FISIP UNS

Akhir-akhirini bergulir cukup hangat perbincangan di tengah-tengah masyarakat tentang rencana relokasi penduduk korban lumpur panas di Sidoarjo.Masyarakat umum mencoba untuk menerka inikah akhir dari episodepenanganan semburan lumpur panas yang terjadi sejak akhir bulan Maretlalu. Bergulirnya rencana relokasi penduduk ini telah membuka wacanabaru upaya mengatasi masalah sosial terkait kebutuhan papan bagimasyarakat korban lumpur panas.
Wacanaini makin berkembang setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyonomenetapkan daerah yang tergenang lumpur PT Lapindo di Porong, Sidoarjoseluas 400 hektare sebagai kawasan rawan bencana (Republika, 28September 2006). Jika demikian, dapat dikatakan rencana relokasi initinggal menunggu waktu pelaksaanannya saja. Menurut rencana sedikitnya2.900 kepala keluarga akan dipindahkan dari tempat tinggalnya menujutempat tinggal baru secara permanen.
Wacana yang terus bergulir ini memang tak luput dari kontroversi. Paling tidak ada tiga pendapat yang mengemuka. Pertamamendukung relokasi bedol desa, artinya penduduk yang menjadi korbanlumpur panas secara keseluruhan dipindahkan ketempat yang baru dantetap menjadi satu kelompok masyarakat seperti halnya sebelumnya. Kedua,pemindahan yang sifatnya individual, artinya penduduk bebas memilihlokasi mana yang diinginkan. Konsekuensinya penduduk mendapat gantirugi tanah dan bangunan dari PT Lapindo. Ketiga, menolak dengan tegas rencana relokasi ini.
Aspek sosial
Lepas dari perbedaan pendapat ini, ada hal yang sebetulnya juga pentingdiperhatikan, yakni aspek sosiologis dari relokasi atau perpindahanpenduduk. Kita menyadari bersama bahwa perpindahan penduduk dalampengertian individual maupun kolektif bukanlah gejala sosial yangsederhana namun juga menyangkut perubahan sosial sistem sosialmasyarakat yang kompleks. Perubahan sosial akan dihadapi olehmasyarakat yang terkena rencana relokasi maupun daerah yang menjaditujuan relokasi.
PaulE Zopf, mengatakan bahwa perpindahan penduduk mempunyai pengaruh yangkuat pada proses dan struktur masyarakat. Termasuk di dalamnya,kepribadian-kepribadian migran, ketika mereka harus menyesuaikanlingkungan baru yang secara total atau sebagian asing. Perpindahanpenduduk memotong ikatan-ikatan sosial yang signifikan dan dapatmenyebabkan ketidakteraturan pola-pola sosial di mana migran berasal.
Demikianjuga, migrasi seringkali memperkenalkan kelompok budaya dan etnik yangberbeda dalam wilayah yang berbeda, sehingga tidak jarang memunculkankonflik. Karena itu migrasi mensyaratkan penyesuaian ekonomi dan sosialdalam komunitas-komunitas baik yang ditinggalkan atau dimasuki dankemampuan individu untuk menaggapi bahasa baru, kebudayaan dankeseluruhan cara hidup (Rahmad, 2006).
Meninggalkantanah kelahiran dan keluar dari komunitas yang akrab bukanlah hal yangringan. Beragam persoalan ekonomis dan kultural, tak jarang dialamisebelum masa ketentraman didapatkan. Di antaranya pertama masalah kelanjutan dalam menghadapi berbagai tantangan serta mendapatkan kesempatan di daerah tujuan. Kedua, corak dan proses penyesuaian diri dalam lingkungan sosial yang serba baru.
Perpindahandapat berarti meninggalkan komunitas yang relatif homogen danlingkungan sosial yang akrab serta masuk ke dalam suasana yang relatifasing/majemuk. Terlebih jika perpindahan itu terjadi dari daerah yangdidiami etnis tertentu ke suatu daerah yang telah dihuni etnis yanglain. Ketiga, kemungkinan kelanjutan atau keputusan hubungansosio-kultural dan ekonomis dengan tanah kelahiran dan kemungkinanbertahan atau terleburnya identitas kultural lama ke dalam ikatan baru(Rahmad, 2006). Kemudian langkah apa yang mungkin dilaksanakan untukmengeliminasi berbagai gejolak sosial yang timbul?
Identitas dan kontrol
Dalam kerangka demikian proses adaptasi sosial menjadi kuncikeberhasilan perpindahan penduduk. Proses sosial ini akan menjadiperbincangan sosiologis, berkaitan dengan integrasi atau disintegrasikelompok baru. Tentu saja hal ini penting untuk dicermati, sebabsituasi yang tidak menentu terkadang menjadi awal munculnya perbedaanpendapat yang tak jarang berakhir dengan konflik sosial.
Untukitu yang terpenting dari sebuah upaya perpindahan penduduk adalahmenempatkan masyarakat sebagai pemegang kunci, penentu, atau pengambilkeputusan. Harapan kita bersama masyarakat dapat menentukan polaperpindahan sendiri sehingga jika perpindahan itu harus dilakukan makaperpindahan dilaksanakan atas dasar kesukarelaan. Dalam kerangkademikian identitas dan kontrol masyarakat menjadi faktor utama.
Identitasdan kontrol menyangkut bentuk masyarakat (baru) yang diharapkan.Apabila memakai konsep bedol desa maka wilayah baru yang dibangun untukkehidupan warganya diarahkan untuk menciptakan kehidupan yang nyamandan aman. Dalam kualitas seperti itu, maka wilayah tersebut harusmemenuhi syarat-syarat: (1) nyaman ditinggali, (2) tidak ada rasatakut, (3) adanya akses terhadap imaginasi dan kegembiraan, (4)tersedia ruang publik dan komunitas, (5) keadilan, serta (6)kemandirian ekonomi (Drajat Tri Kartono, 2001). Untuk itu wilayahtersebut hendaknya dikembangkan dengan memperhatikan aspek ekonomis,historis, kultural, sosiologis, juga partisipasi masyarakat.
Setiapperubahan terhadap makna dan tata ruang memang harus didialogkan denganmasyarakat. Ada ruang partisipasi publik, sehingga identitas yangdikehendaki warga kemudian tidak tercerabut oleh kebijakan satu arahdari pemegang kuasa. Dengan demikian masyarakat memiliki identitas dankontrol terhadap perkembangan kehidupannya untuk mempertahankankeunikan dan karakter khasnya. Jika demikian adanya, perubahan sosialakan berjalan dengan damai dan bermanfaat bagi masyarakat.