di saat-saat genting kita (paling tidak saya) seringkali mengalami kesulitan dalam berpikir. untuk sekedar membuat keputusan kemana saya harus makan siang ato kemana ku harus bertanya pun tak mampu ku lakukan. hal-hal yang sifatnya sederhana menjadi berat. bahkan seringkali berujung pada perasaan yang sebenarnya fatalistik, semisal merasa tidak berguna, tak lagi punya harapan dan sebagainya. bagaimanakah menghadapi hal-hal seperti ini?
Kembalikan pada hakekat kehidupanmu. apakah yang hendak dilakukan di dunia? setiap kegaluan hanya bisa dijawab dengan kembali pada hakekat kehidupan, itulah pandangan kalangan eksistensialis.
tapi bisakah manusia hidup dengan mengandalkan hakekat kehidupannya semata? tak bisakah manusia lain membantu untuk sekedar meringankan beban? inilah kehidupan yang banyak disuarakan kalangan berpaham kolektivitas. kebersamaan menjadi sumbu utama kehidupan.
barangkali kontradiksi antara eksistensialis dan kolektivitas ini sulit sekali didamaikan. hanyalah individu yang matang yang mampu mengubah kegaluan menjadi harapan. kecemasan menjadi kesempatan.

1 komentar:

sI$i II S!s! mengatakan...

eksistensialis dan kolectivitas...aduhh awrat pakdee..mungkin sulit menyatukan keduanya, kesannya berlainan kutub, but it like the earth, setiap individu memilikinya..cuma mungkin pembagiannya tidak imbang seperti khatulistiwa, yahh konco dewe ki iso 30-70, 40-60 atau mungkin 1-99.. tergantung habit, situasi dan kondisi..
kagaluan menjadi harapan, kecemasan menjadi kesempatan..hanya pribadi yang sangat matang yang mampu melakukannya..dan menjadi matang pasti memerlukan proses..karbitan atau alamiah dengan pengalaman his-self or otherself, by sharing atau sekedar ngobrol ngalor ngidul..