Antara Pilgub dan Piala Eropa

artikel ini pernah di muat di harian Joglosemar, 7 Juni 1980
Di bulan Juni ini perhatian masyarakat (khususnya di Jawa Tengah) akan tercurah pada dua perhelatan akbar yakni Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah dan Piala Eropa. Keduanya sama-sama ajang kompetisi meski dalam ranah yang berbeda. Di satu sisi Pemilihan Gubernur merupakan kompetisi untuk memilih pemimpin atau kepala daerah. Sedang Piala Eropa adalah ajang untuk menentukan negara mana yang terbaik di Eropa dalam urusan sepak bola. Meski Piala Eropa dilaksanakan jauh dari tempat tinggal kita, namun gaung dan efek psikologisnya bisa kita rasakan bahkan tak jarang sanggup mengubah keseharian kita. Jutaan orang bersedia begadang sampai pagi untuk menyaksikan jago-jago sepakbola dunia berlaga. Para penggila sepakbola terbelah ke dalam beberapa kelompok pendukung atau suporter. Mereka saling mengekspresikan bentuk dukungannya. Begitu juga dengan pemilihan gubernur. Setiap warga juga ingin berpartisipasi dalam pesta demokrasi ini. Apalagi pemilihan gubernur memang dekat dengan kita, menentukan masa depan masyarakat Jawa Tengah, maka atmosfer persaingan amat terasa. Bisa jadi untuk waktu-waktu belakangan ini kita menjadi berbeda dengan tetangga, teman ataupun keluarga karena menjadi “suporter” calon gubernur yang berbeda. Pertanyaannya kemudian, pelajaran apa yang dapat kita petik dari dua perhelatan ini? Dari dua perhelatan ini setidaknya kita bisa belajar banyak tentang arti kompetisi, penghargaan pada nilai kejujuran, semangat untuk berbuat yang terbaik dan fair play. Nilai yang menjadi pilar utama bagi negara yang menganut paham demokrasi seperti negara kita. Namun, ironis akhir-akhir ini banyak diabaikan oleh bangsa Indonesia. Belakangan kita menjadi terbiasa melihat, mendengar, dan membaca dari media massa kekerasan, kerusuhan bahkan ancaman pembunuhan karena gagal dalam berkompetisi. Boleh dikatakan kita telah kehilangan makna berkompetisi. Hakekat BerkompetisiPemilihan Gubernur Jawa Tengah akan mempertandingkan lima pasang calon gubernur, sedang Piala Eropa diikuti oleh 16 negara. Layaknya sebuah kompetisi, kedua perhelatan ini tentu saja penuh dengan persaingan yang tak jarang menyajikan “drama” yang berakhir pada kesedihan maupun kebahagiaan. Jika drama berakhir bahagia maka para “suporter” akan merasa bangga dan senang. Berbeda hasilnya jika drama berakhir dengan kesedihan, “suporter” akan merasa terluka dan bisa berujung pada ekspresi yang negatif. Mulai dari ketegangan antarindividu hingga kerusuhan yang bersifat massal. Tentu saja hal ini tidak boleh terjadi. Setiap kontestan Pilgub maupun peserta Piala Eropa harus mempersiapkan diri dengan baik, dan siap bertanding secara fair play. Para pendukung mestinya juga dikondisikan sedemikian rupa agar siap menerima kemenangan dan siap pula menerima kekelahan. Inilah hakikat berkompetisi.Kompetisi berarti persaingan yang diciptakan untuk saling mengasah keunggulan guna mencapai kemenangan (keunggulan bersaing). Selama berkompetisi, pihak-pihak yang berkompetisi akan melakukan berbagai usaha untuk meraih yang terbaik. Jika merujuk pada pengertian tersebut, kemenangan tidak membutuhkan obyek yang dikalahkan. Mengambil istilah dari sastra Jawa, kemenangan adalah hasil yang dicapai oleh seseorang yang punya watak (kualitas) kesatria. Menangnya seorang kesatria itu adalah menang yang tanpa merendahkan atau dalam istilah Jawa kita kenal dengan ngasorake (Ubaydillah, 2008).Pengertian kompetisi berbeda dengan kongkurensi, secara harfiah kongkurensi punya arti: menaklukkan, mengalahkan, atau menjatuhkan. Hasil yang dicapai oleh kongkurensi ini bukan memenangkan tetapi memukul mundur. Akhirnya di tingkat sikap mental dan tindakan juga berbeda. Ketika kita mempraktikkan kompetisi maka sikap mental yang mestinya ditonjolkan adalah kemauan melakukan persaingan untuk mencapai tujuan sesuai aturan. Dengan demikian tindakan yang terwujud tentu saja bersifat saling menghargai, santun dan jauh dari rasa ingin menjatuhkan. Sebagai permainan, sepakbola juga mengajarkan bagaimana berkompetisi secara sehat. Semua pemain bisa saja saling kejar, menghadang ataupun mengelabui lawan asal dalam waktu yang ditentukan, di dalam lapangan, dan diperbolehkan oleh aturan yang disepakati. Setelah permainan usai, berakhir pula kompetisi dan kembali pada hakikat kemanusiaannya. Setiap pemain berjabat tangan, saling bertegur sapa penuh keakraban, bertukar seragam sebagai bentuk persahabatan.Etika BerpolitikHal ini pula yang seharusnya terjadi pada perhelatan pemilihan gubernur. Setiap kandidat yang maju dalam kompetisi pemilihan gubernur harus pula berkompetisi dengan sehat. Memang tak bisa dipungkiri, kompetisi sepakbola berbeda tekanannya dengan kompetisi politik meski keduanya memiliki semangat yang sama. Mengikutii definisi politik sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama maka kompetisi politik sudah selayaknya jika kental dengan pertarungan visi-misi, nilai, norma dan cita-cita untuk kebaikan bersama. Karena itu dalam meraihnya tentu saja harus berlandaskan pada etika berpolitik. Etika berhubungan erat dengan kaidah bagaimana seseorang dalam suatu masyarakat kenegaraan (yang menganut sistem politik tertentu) berhubungan secara politik dengan orang atau kelompok masyarakat lain. Dalam melaksanakan hubungan politik itu seseorang harus mengetahui dan memahami norma-norma dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi.Namun seringkali yang terwujud di dalam kenyataan amatlah berbeda. Dalam setiap pemilihan gubernur, bukanlah visi-misi, nilai ataupun norma bermasyarakat dan bernegara yang ditonjolkan melainkan pertarungan jumlah pendukung dengan jalan intimidasi, iming-iming uang dan janji-janji palsu. Akhirnya pertarungan otot justru lebih banyak muncul daripada otak. Etika berpolitik kemudian luntur oleh hasrat untuk meraih kekuasaan semata.Kita perlu ingatkan, di dalam pemilihan gubernur ini lebih-lebih di masa kampanye bolehlah setiap partai politik dan calon-calon kepala daerah melakukan pertarungan politik dalam kerangka peralihan kepemimpinan yang demokratis. Dengan catatan tidak mengganggu ibu-ibu yang sedang ke pasar, tidak membuat toko-toko tutup, tidak membuat bus atau angkutan kota tidak berani berjalan, anak sekolah ketakutan berangkat ke sekolah, pelaksanaan kampanye yang tidak merusak taman kota yang indah. Masyarakat menyalurkan aspirasi tanpa harus dengan membakar ban, merusak toko, tanpa harus menghujat. Dengan demikian kampanye damai dapat kita wujudkan bersama. Semoga.
Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan peneliti di Center for Urban Research and Community Management (Circum) Solo

1 komentar:

Anonim mengatakan...

masih sering nulis mas? sip deh. sosiologiskan rubrik opini koran-koran yang ada, he-he-he.

salam,
masmpep.wordpress.com