membaca potensi joglosemar

Membaca Potensi Joglosemar

artikel ini pernah dimuat di harian joglosemar edisi perdana 29 oktober 2007

Dalam sebuah perjalanan ke Jakarta, penulis sempat berbagi cerita dengan seorang ibu berusia sekitar 60 tahun. Saat itu masih dalam suasana arus balik setelah lebaran. Ibu yang bertempat tinggal di salah satu kabupaten di Karesidenan Surakarta itu dengan penuh semangat menceritakan pengalamannya membesarkan anaknya hingga sukses. Ia menceritakan sejak anaknya merantau ke Jakarta 10 tahun silam kehidupannya berubah dengan cepat. Secara materi tidak lagi kekurangan bahkan berlebih, secara sosial makin dihargai karena anaknya bekerja di salah satu perusahaan ternama di Ibu Kota Negara. Apabila lebaran tiba anaknya selalu mudik dengan mobil pribadi. Lengkap sudah kebahagian sang ibu. Ibu itu pun tak lupa menyarankan kepada penulis untuk berani hidup di Jakarta.Sekelumit kisah di atas, memberi pelajaran hidup tersendiri. Betapa kota besar seperti Jakarta terus menyediakan mimpi indah. Perjuangan para perantau yang jatuh bangun mampu mengangkat ekonomi keluarga mereka. Kini setiap menjelang Lebaran, miliaran rupiah dikirimkan ke daerah asal. Perpindahan penduduk membawa berkah bagi daerah asal. Sebagai contoh Wonogiri, tercatat sekitar 110.404 orang atau hampir 10% penduduk Wonogiri menjadi perantau (Lab. Ucyd, 2007). Bila setiap perantau membawa uang Rp 500.000 ketika mudik Lebaran, uang yang masuk ke daerah ini mencapai Rp 55,2 miliar lebih. Jumlah ini tentu bukanlah sedikit. Maka tak heran, beberapa waktu belakangan ini kembali hangat diperbincangkan persoalan perpindahan penduduk dari beberapa daerah di Indonesia menuju kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek). Tradisi tahunan mudik dan arus balik lebaran menjadi waktu yang tepat untuk melakukan migrasi. Di DKI Jakarta saja, sedikitnya 180.000 jiwa pendatang baru di setiap tahunnya dan sebagian besar diantaranya tiba bersamaan dengan arus balik setelah lebaran. Mereka seolah bergeming dengan berbagai penertiban, operasi yustisi maupun ancaman pemulangan ke daerah asal jika tidak bisa hidup di kota besar.Kesempatan gerak penduduk yang masif makin terbuka lebar karena didukung oleh sarana komunikasi dan transportasi yang memadai. Coba kita tengok angka mudik lebaran tahun 2007 ini. Di wilayah Jawa Tengah saja dibanjiri 4,2 juta pemudik naik 11% dibanding tahun 2006 sebesar 3,7 juta orang. Angka ini terdistribusi ke beragam alat transportasi mulai dari pesawat, kereta api, bus, mobil pribadi hingga sepeda motor. Tidak bisa dipungkiri, jika dibandingkan variabel-variabel demografi yang lain (kelahiran dan kematian), persoalan migrasi menjadi faktor penting yang ikut menggerakkan perubahan-perubahan sosial di pedesaan maupun perkotaan. Perpindahan yang dilakukan oleh perantau ini berkaitan erat dengan faktor-faktor seperti ekonomi, ketimpangan kebijakan pembangunan serta aspek sosiologis. Kita bersama memahami, migrasi menjadi suatu masalah ekonomi karena sebagian besar perpindahan terjadi disebabkan ketidakseimbangan ekonomi antara daerah asal dengan daerah tujuan (Rahmad, 2006). Keinginan meraih penghidupan yang layak menjadi pendorong utama.Persoalan migrasi juga terkait erat dengan ketimpangan kebijakan pembangunan. Sudah sekian lama pembangunan desa terabaikan. Keinginan pemerintah pusat untuk mengejar pertumbuhan ekonomi membuat upaya pembangunan terkonsentrasi di kota-kota besar. Akibatnya banyak sekali desa yang tidak tersentuh pembangunan.Dalam perspektif sosiologis, migrasi tidak dapat dilepaskan dari persoalan mobilitas sosial dalam kehidupan manusia. Migrasi amat berkaitan dengan konsep mobilitas sosial vertical yakni perubahan status sosial. Migrasi merupakan upaya untuk memperbaiki status sosial di mata masyarakat. Dengan demikian kita mamahami bahwa arus perpindahan penduduk terjadi karena faktor pendorong yang datangnya dari daerah asal dan faktor penarik yang datangnya dari daerah tujuan. Pertanyaannya bagaimana agar arus perpindahan penduduk ini tidak berdampak negatif baik bagi daerah asal maupun tujuan?
Kerja sama antardaerahKita tentu tidak berharap pekerja-pekerja potensial meninggalkan daerah asal dan bekerja di daerah lain. Perpindahan ini tentu akan merugikan daerah asal itu sendiri. Melihat kondisi ini kerja sama antar daerah menjadi mutlak diperlukan untuk menahan agar pekerja potensial tidak melakukan migrasi. Caranya dengan meningkatkan daya tarik dan menciptakan peluang-peluang usaha. Terutama di daerah penyumbang perantau seperti Jawa Tengah dan DIY. Di Jawa tengah dan DIY daerah yang menjadi asal perantau seperti Wonogiri, Klaten dan Gunung Kidul. Masyarakat di daerah tersebut merantau tak ubahnya menjemput masa depan yang lebih baik. Sebuah langkah yang menjanjikan ketika tiga daerah yakni Jogja, Solo dan Semarang bergandengan tangan untuk menjalin kerjasama. Sinergisitas yang kemudian kita kenal dengan Joglosemar. Kita tentu sepakat tiga daerah ini menyimpan potensi besar. Dari sisi ekonomi tiga daerah ini termasuk lokomotif pertumbuhan ekonomi bagi daerah-daerah di sekitarnya. Secara geografis ketiga daerah ini sangat berdekatan sehingga memudahkan dalam mobilitas. Letak ketiga daerah ini amat strategis dan mudah dijangkau dari berbagai penjuru, maka tak heran jika banyak yang menyebut sebagai ”segitiga emas”.Jalinan kerja sama ekonomi telah lama terbangun. Hal ini dapat dilihat ketika di pagi buta pasar-pasar induk seperti Pasar Legi di kota Solo maupun Pasar Johar di Semarang dipenuhi pedagang sayuran dari Tawangmangu (Karanganyar), Boyolali, Grabag (Magelang) maupun pedagang bunga dari Bandungan (Kab. Semarang). Begitu juga pasar Beringharjo dan Klewer yang disesaki oleh pedagang batik dari Yogyakarta, Solo, Pekalongan maupun Klaten. Dalam perspektif sosiologis tiga daerah ini memiliki karakteristik yang menarik. Masyarakat Jogja dan Solo mewarisi kehidupan, sistem sosial dan budaya Mataram pedalaman. Dibangun oleh tradisi masyarakat pedesaan dan pegunungan. Kita melihat ketiga daerah ini dikelilingi oleh gunung Merapi, Merbabu dan Lawu yang membentuk dataran rendah yang luas meliputi daerah Klaten, Boyolali dan Kartasura. Dari lereng Gunung Merapi mengalir kali Opak ke selatan menjadi batas Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta. Masyarakat pedesaan dekat dengan cara hidup guyub rukun, , face to face, dan mengedepankan harmoni sosial. Sedang Semarang mewarisi tradisi masyarakat pesisiran yang lekat dengan budaya kosmopolitan, egaliter. Fakta sosiologis ini tentu mengikat masyarakat dalam sebuah solidaritas sosial yang kuat. Kearifan sosial dalam bentuk kehidupan yang , ajur ajer, hidup di tengah-tengah masyarakat. Sejarah juga membuktikan bahwa ikatan sosial Jogja dan Solo sebetulnya telah terjalin lama. Pernikahan antara Raja Keraton Surakarta Pakubuwono X dengan puteri Sultan Hamengkubuwono VII dari Keraton Yogyakarta adalah salah satu bukti ikatan sosial budaya itu.
Adi Himawan, Peneliti di Laboratorium of Urban Crisis and Community Development (Lab. UCYD), Jurusan Sosiologi, FISIP, UNS, Solo

Tidak ada komentar: