aspek sosiologis relokasi penduduk

aspek sosiologis relokasi penduduk
pernah dimuat di harian Republika, Sabtu, 07 Oktober 2006
Adi Himawan
Peneliti di Laboratorium of Urban Crisis and Community Development, Jurusan Sosiologi FISIP UNS

Akhir-akhirini bergulir cukup hangat perbincangan di tengah-tengah masyarakat tentang rencana relokasi penduduk korban lumpur panas di Sidoarjo.Masyarakat umum mencoba untuk menerka inikah akhir dari episodepenanganan semburan lumpur panas yang terjadi sejak akhir bulan Maretlalu. Bergulirnya rencana relokasi penduduk ini telah membuka wacanabaru upaya mengatasi masalah sosial terkait kebutuhan papan bagimasyarakat korban lumpur panas.
Wacanaini makin berkembang setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyonomenetapkan daerah yang tergenang lumpur PT Lapindo di Porong, Sidoarjoseluas 400 hektare sebagai kawasan rawan bencana (Republika, 28September 2006). Jika demikian, dapat dikatakan rencana relokasi initinggal menunggu waktu pelaksaanannya saja. Menurut rencana sedikitnya2.900 kepala keluarga akan dipindahkan dari tempat tinggalnya menujutempat tinggal baru secara permanen.
Wacana yang terus bergulir ini memang tak luput dari kontroversi. Paling tidak ada tiga pendapat yang mengemuka. Pertamamendukung relokasi bedol desa, artinya penduduk yang menjadi korbanlumpur panas secara keseluruhan dipindahkan ketempat yang baru dantetap menjadi satu kelompok masyarakat seperti halnya sebelumnya. Kedua,pemindahan yang sifatnya individual, artinya penduduk bebas memilihlokasi mana yang diinginkan. Konsekuensinya penduduk mendapat gantirugi tanah dan bangunan dari PT Lapindo. Ketiga, menolak dengan tegas rencana relokasi ini.
Aspek sosial
Lepas dari perbedaan pendapat ini, ada hal yang sebetulnya juga pentingdiperhatikan, yakni aspek sosiologis dari relokasi atau perpindahanpenduduk. Kita menyadari bersama bahwa perpindahan penduduk dalampengertian individual maupun kolektif bukanlah gejala sosial yangsederhana namun juga menyangkut perubahan sosial sistem sosialmasyarakat yang kompleks. Perubahan sosial akan dihadapi olehmasyarakat yang terkena rencana relokasi maupun daerah yang menjaditujuan relokasi.
PaulE Zopf, mengatakan bahwa perpindahan penduduk mempunyai pengaruh yangkuat pada proses dan struktur masyarakat. Termasuk di dalamnya,kepribadian-kepribadian migran, ketika mereka harus menyesuaikanlingkungan baru yang secara total atau sebagian asing. Perpindahanpenduduk memotong ikatan-ikatan sosial yang signifikan dan dapatmenyebabkan ketidakteraturan pola-pola sosial di mana migran berasal.
Demikianjuga, migrasi seringkali memperkenalkan kelompok budaya dan etnik yangberbeda dalam wilayah yang berbeda, sehingga tidak jarang memunculkankonflik. Karena itu migrasi mensyaratkan penyesuaian ekonomi dan sosialdalam komunitas-komunitas baik yang ditinggalkan atau dimasuki dankemampuan individu untuk menaggapi bahasa baru, kebudayaan dankeseluruhan cara hidup (Rahmad, 2006).
Meninggalkantanah kelahiran dan keluar dari komunitas yang akrab bukanlah hal yangringan. Beragam persoalan ekonomis dan kultural, tak jarang dialamisebelum masa ketentraman didapatkan. Di antaranya pertama masalah kelanjutan dalam menghadapi berbagai tantangan serta mendapatkan kesempatan di daerah tujuan. Kedua, corak dan proses penyesuaian diri dalam lingkungan sosial yang serba baru.
Perpindahandapat berarti meninggalkan komunitas yang relatif homogen danlingkungan sosial yang akrab serta masuk ke dalam suasana yang relatifasing/majemuk. Terlebih jika perpindahan itu terjadi dari daerah yangdidiami etnis tertentu ke suatu daerah yang telah dihuni etnis yanglain. Ketiga, kemungkinan kelanjutan atau keputusan hubungansosio-kultural dan ekonomis dengan tanah kelahiran dan kemungkinanbertahan atau terleburnya identitas kultural lama ke dalam ikatan baru(Rahmad, 2006). Kemudian langkah apa yang mungkin dilaksanakan untukmengeliminasi berbagai gejolak sosial yang timbul?
Identitas dan kontrol
Dalam kerangka demikian proses adaptasi sosial menjadi kuncikeberhasilan perpindahan penduduk. Proses sosial ini akan menjadiperbincangan sosiologis, berkaitan dengan integrasi atau disintegrasikelompok baru. Tentu saja hal ini penting untuk dicermati, sebabsituasi yang tidak menentu terkadang menjadi awal munculnya perbedaanpendapat yang tak jarang berakhir dengan konflik sosial.
Untukitu yang terpenting dari sebuah upaya perpindahan penduduk adalahmenempatkan masyarakat sebagai pemegang kunci, penentu, atau pengambilkeputusan. Harapan kita bersama masyarakat dapat menentukan polaperpindahan sendiri sehingga jika perpindahan itu harus dilakukan makaperpindahan dilaksanakan atas dasar kesukarelaan. Dalam kerangkademikian identitas dan kontrol masyarakat menjadi faktor utama.
Identitasdan kontrol menyangkut bentuk masyarakat (baru) yang diharapkan.Apabila memakai konsep bedol desa maka wilayah baru yang dibangun untukkehidupan warganya diarahkan untuk menciptakan kehidupan yang nyamandan aman. Dalam kualitas seperti itu, maka wilayah tersebut harusmemenuhi syarat-syarat: (1) nyaman ditinggali, (2) tidak ada rasatakut, (3) adanya akses terhadap imaginasi dan kegembiraan, (4)tersedia ruang publik dan komunitas, (5) keadilan, serta (6)kemandirian ekonomi (Drajat Tri Kartono, 2001). Untuk itu wilayahtersebut hendaknya dikembangkan dengan memperhatikan aspek ekonomis,historis, kultural, sosiologis, juga partisipasi masyarakat.
Setiapperubahan terhadap makna dan tata ruang memang harus didialogkan denganmasyarakat. Ada ruang partisipasi publik, sehingga identitas yangdikehendaki warga kemudian tidak tercerabut oleh kebijakan satu arahdari pemegang kuasa. Dengan demikian masyarakat memiliki identitas dankontrol terhadap perkembangan kehidupannya untuk mempertahankankeunikan dan karakter khasnya. Jika demikian adanya, perubahan sosialakan berjalan dengan damai dan bermanfaat bagi masyarakat.

Tidak ada komentar: